BIOGRAFI SINGKAT SYEKH NAWAWI AL-BANTANI & SEJARAH PENULISAN TAFSIR MARAH LABID
- PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang berpenduduk muslim terbesar di
dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika aktivitas intelektualitas di
Indonesia berupa kajian-kajian ke-Islaman banyak dilakukan dan mengalami perkembangan
yang cukup memuaskan dan membanggakan. Baik di bidang Fiqih, Tasawuf, hingga
kajian Tafsir al-Qur’an. Terukirnya banyak nama tokoh ulama dan intelektual
muslim dengan segala prestasinya dalam catatan sejarah adalah bukti konkret
dari hal di atas. Sebut saja dalam bidang tafsir, salah satu tokoh yang menjadi
kebanggaan umat Islam Indonesia bahkan dunia hingga saat ini adalah Syekh
Nawawi al-Banteni “tanpa mengabaikan kehaliannya dalam disiplin ilmu lainnya”
dengan karya tafsirnya yang monumental dan terus menjadi rujukan dalam
diskursus tafsir hingga saat ini yang juga merupakan objek kajian pada makalah
sederhana ini dengan segala keterbatasan penyaji.
Oleh karena itu, jika nantinya dalam pembahasan makalah ini
terdapat hal-hal yang perlu diluruskan, ditambahkan informasinya bahkan mungkin
terdapat informasi yang terkesan berlebihan sehingga harus dikurangi penyaji
dengan apresiatif membuka lebar pintu kebaikan demi tercapainya pemahaman yang
lebih baik.
- PEMBAHASAN
a. Mengenal Syekh Nawawi
al-Banteni
- Biografi
Nama lengkap beliau adalah Abu
Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar. Pada tahun 1230 H., bertepatan
dengan tahun 1814 M., di Desa Tara, Kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara,
lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Nawawi. Dia adalah keturunan
Maulana Sultan Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama.[1] Julukan
‘al-Banteni’ dinisbahkan kepada daerah asalnya, Banten. Di samping itu juga
untuk membedakan dirinya dengan Imam Nawawi yang juga seorang ulama yang
produktif dalam mengarang kitab. Di kalangan ulama dan pengarang Islam, dikenal
dua nama Nawawi yang keduanya sama-sama ulama dan pengarang Islam.[2]
Ayahnya yang bernama K.H. Umar bin Arabi adalah seorang pejabat
penghulu yang memimpin masjid. Dilacak dari segi silsilah, Nawawi merupakan
keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati, Cirebon),
yaitu cucu dari Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyaras
(Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW. melalui jalur Imam
Ja’far ash-Shiddiq, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husain, Fatimah az-Zahrah.
Banten pada masa kelahiran Syekh
Nawawi sedang berada pada fase kemunduran. Sultan Banten yang memerintah pada
waktu itu adalah Muhammad Rafiudin. Periode pemerintahan Sultan Rafiuddin ini
(1813-1820 M) merupakan periode terakhir kesultanan Banten. Sejak bercokolnya
kekuasaan Hindia-Belanda di Indonesia, berakhir pula era Kesultanan Banten yang
didirikan oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati pada abad ke-16 M.
Masa kejayaan kesultanan tersebut mulai redup dan berganti dengan masa
penjajahan Belanda. Meskipun demikian, semangat dan fanatisme keagamaan yang
ditanamkan oleh Sunan Gunung Djati tidak pernah sirna dari kesadaran masyarakat
Banten. Pada masa kemunduran Banten yang seperti itulah, Syekh Nawawi lahir.
Kelahiran Syekh Nawawi ternyata membawa semangat baru untuk masyarakat dan
perkembangan agama Islam di Indonesia, terutama di tanah Banten.[3]
b. Perjalanan al-Banteni dalam
Menuntut Ilmu
Sejak kecil, Syekh Nawawi memang
telah diarahkan ayahnya untuk menjadi seorang ulama. Setelah ditempa oleh sang
ayah, Nawawi lantas berguru kepada K.H. Sahal, seorang ulama kharismatik di
Banten. Usai dari Banten, ia berguru kepada ulama besar Purwakarta, yaitu Kyai
Yusuf.[4]
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi
bersama dua saudaranya mendapat kesempatan untuk berangkat ke Tanah Suci guna menunaikan
Ibadah Haji. Di sana dia tinggal selama kurang lebih 3 tahun. Di Tanah Suci ia
memanfaatkannya untuk belajar ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu Hadits,
Tafsir dan terutama Ilmu Fiqih. Setelah itu dia kembali ke Tanah Air pada tahun
1833 M. dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
membantu ayahnya mengajar para santri.[5]
Akan tetapi kondisi Nusantara
pada saat itu sedang tidak kondisif. Penjajahan Belanda sendang menggila.
Kondisi tersebut memaksa dia untuk kembali ke Makkah untuk yang kedua kalinya
guna memperdalam ilmunya. Kesempatan ini tidak disia-siakan olehnya. Bahkan,
lantaran ketajaman otaknya, ia tercatat sebagai salah satu murid terpandang di
Masjidil Haram. Sewaktu Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur sebagai Imam Masjidil
Haram, Nawawi ditunjuk sebagai pengganti. Sejak saat itulah ia dikenal dengan
julukan Syekh Nawawi al-Jawi.[6]
Nawawi mendapat bimbingan pertama
kali dari Syekh Khatib Sambas (Penggabung Tarekat Qadariyah dan Naqsyabandiyah)
dan Syekh Abdul Ghani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di Tanah Haram.
Setelah itu, beliau belajar kepada Syekh Sayyid Ahmad Dimyati dan Ahmad Zaini
Dahlan yang keduanya juga merupakan ulama asal Indonesia yang bermukim di
Makkah, beliau digembleng oleh Muhammad Khatib al-Hanbali. Syekh Nawawi
kemudian melanjutkan studinya kepada ulama besar di Mesir dan Syam (Suriah).
Menurut penuturan Abdul Jabbar yang dikutip oleh Saiful Amin Ghofur, Syekh
Nawawi juga pernah merantau sampai ke Mesir untuk menuntut ilmu. Guru sejatinya
pun berasal dari negeri piramida ini, seperti Syekh Yusuf Sumbulawi dan Syekh
Ahmad Nahrawi.[7]
Kehidupan Syekh Nawawi penuh
dengan kesederhanaan. Kesederhanaannya sangat terkesan sehingga seakan-akan
beliau bukanlah seorang Syekh dan Guru Besar. Kerendahan hatinya tidak saja
nampak pada sikap pergaulan kesehariannya tetapi jelas terlihat juga dari
sikapnya dalam setiap diskusi ilmiah. Dalam setiap dialog ilmiah ia lebih
banyak bersikap menjadi pendengar yang baik, tidak pernah mendominasi
percakapan. Ia hanya berbicara ketika didesak untuk berpendapat saja.[8]
Di Indonesia murid-murid Syekh
Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan aktif
selain dalam dakwah Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya, K.H.
Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur (Pendiri Organisasi Nahdhatul
Ulama), K.H. Khalil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H. Asy’ari dari
Bawean, K.H. Asnawi dari Kudus, K.H. Tubagus Bakri. Salah satu muridnya K.H.
Daud yang berasal dari Perak Malaysia, juga menjadi ulama kenamaan di tempat
asalnya.[9]
Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M. Syekh Nawawi al-Banteni menghembuskan nafas terakhirnya di usia 84
tahun. Ia dimakamkan di Ma’la di dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mu’minin
isteri Nabi Muhammad SAW.[10]
c. Karir Akademik
Sejak muda Syekh Nawawi dikenal
sebagai seorang yang tekun dan ulet dalam mencari ilmu. Dengan kecerdasannya,
dalam usia 8 tahun beliau sudah mampu mengahafal seluruh isi al-Qur’an. Setelah
ia memutuskan untuk menetap di Makkah dan memilih untuk meninggalkan kampung
halamannya, ia menimba ilmu pengetahuan lebih dalam lagi selama 30 tahun. Baru
kemudian pada tahun 1860 M. ia mulai mengajar di Masjidil Haram. Prestasi
mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman ilmu agamanya, sehingga
beliau tercatat sebagai Guru Besar di sana. Namu karena beliau merasa dirinya
bukan termasuk orang Arab di tengah-tengah Guru Besar yang berbangsa Arab ia
lebih banyak mengajar di rumahnya. Menurut pengakuannya dia tidak pantas ada di
sana lantaran pakaiannya tidak berpenampilan seorang Syekh.[11]
Namun pada tahun 1870 M. kesibukannya bertambah karena ia harus
banyak menulis kitab. Inisiatif datang dari desakan sebagian koleganya yang
meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari
sahabatnya yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk kemudian dibacakan
kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya
yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Dari sisi ini seakan-akan
aktifitas Syekh Nawawi dalam menulis bukan atas kehendaknya sendiri.
Menjadi penulis di tengah-tengah
suasana yang masih dicirikan dengan tradisi lisan dalam mentransmisikan ilmu
merupakan propesi yang langka. Wajar kalau kapasitas keilmuannya membuat teman
dekat Syekh Nawawi mempercayainya untuk menulis beberapa kitab. Kesibukannya
dalam menulis membuat Nawawi kesulitan mengorganisir waktu sehingga tidak
jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan murid-murid senior
untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di
beberapa pesantren di Pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai
beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung kepada Kiyai agar
proses pembelajaran dengan Kiyai tidak mendapat kesulitan.[12]
d. Karya-karyanya
Kurang lebih 15 tahun sebelum
wafat, Syekh Nawawi sangat subur dalam membuahkan kitab. Waktu mengajarnya pun
sengaja ia kurangi untuk menambah kesempatan menulis. Maka tak heran jika Syekh
Nawawi mampu melahirka puluhan, bahkan –menurut sebuah sumber- ratusan karya
tulis meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti Tauhid, Ilmu Theologi, Sejarah,
Syari’ah, Tafsir dan lainnya. Yusuf Alias Sarkis mencatat 34 karya Syekh Nawawi
dalam Dictionary of Arabic Printed Books.[13]
Karya-karya itu antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
- Dalam cabang Tafsir, karyanya yang menonjol adalah kitab Tafsir Marah Labid.
- Dalam bidang Tasawuf di antaranya Salalim al-Fudhala yang merupakan syarah dari
kitab Hidayah al-Azkiya, Mishbah
al-Zhalam, dan Bidayah al-Hidayah.
- Dalam bidang Hadits, antara lain Thariq al-Qaul yang merupakan syarah dari
kitab Lubab al-Haditskarangan Imam
al-Suyuthi.
- Dalam bidang Tauhid, antara lain kitab Fath al-Majid syarah kitab al-Durr al-Faraid fi al-Tauhid dan Tijan al-Darari syarah dari kitab fi al-Tauhid karya al-Bajuri.
- Dalam bidang Sejarah, antara lain kitab al-Ibriz al-Dani, Bughiyah al-Awwam, dan Fath al-Samad.
- Dalam bidang Fiqih, antara lain kitab Sullam al-Munajah, al-Tausyikh syarah dari
kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya
Ibnu Qasim al-Ghazi, al-Tsimar al-Yani’ah dan al-Fath al-Mujib.
- Dalam bidang Bahasa dan Kesusastraan Arab, antara lain
kitab Fath al-Ghafr al-Khathiyah dan Lubab al-Bayan.[14]
- Mengenal Kitab Tafsir Marah Labid
a. Arti Nama dari ‘Marah dan Labid’
Marah Labid li Kasyfi Ma’ana
Qur’anil Majid adalah kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Nawawi
al-Banteni yang lebih dikenal dengan nama al-Tafsir al-Munir. Syekh
Nawawi mengemukakan bahwa kitab tafsir ini ditulis sebagai jawaban terhadap
permintaan beberapa koleganya agar ia menulis sebuah kitab tafsir sewaktu
berada di Makkah. Kitab yang ditulis dalam bahasa Arab ini diselesaikan pada
periode terakhir masa hidupnya yakni pada tahun 1305 H/1884 M dan diterbitkan
pertama kali di Makkah setelah terlebih dahulu diserahkan kepada ulama-ulama
Makkah untuk diteliti dan dikomentari pada tahun 1887 M. Tidak ada kepastian
kenapa tafsir ini memiliki dua nama Marah Labid dan al-Munir. Tetapi yang jelas tafsir ini dicetak ulang
pada tahun 1887 oleh penerbit al-Halabi, Kairo dengan lay out yang disertai di
bagian margin dengan tafsir Kitab al-Wajiz fi Tafsir
al-Qur’an al-Aziz, karya al-Wahidi (w. 468/1076). Tafsir ini
lebih dikenal dengan Tafsir al-Wahidi.
Susunan tafsir yang sangat ringkas dan simple.
Tujuan penamaan kitab dengan
istilah Marah Labid, dari sudut bahasa Marah Labid adalah susunan kata yang berbahasa
Arab yang terdiri dari dua kata مراح dan لبيد. Dalam kamus Munjid kata المراح berasal dari kata رواحا – يروح – راح yang memiliki
arti datang dan pergi di sore hari untuk berkemas dan mempersiapkan
kembali untuk berangkat. Kata Marah adalah kata benda yang menunjukkan tempat,
di sana diartikan الموضع يروح لقوم منه او اليه (suatu tempat peristirahatan bagi orang-orang
yang datang dan pergi). Sedangkan لبيد seakar kata dengan لبد – يلبد yang memiliki
arti berkumpul mengitari sesuatu. Kemudian istilah Labid sendiri termasuk suatu istilah dalam ilmu
hayawan (zoologi), sama dengan kata اللبادى – اللبادى yang berarti jenis burung yang senang di
daratan dan hanya terbang bila diterbangkan. Jadi menurut penelusuran arti
kata, Marah Labid secara harfiyah memiliki arti “Terminal Burung”, atau dengan istilah lain “tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan
pergi”.[15]
b. Karakteristik Tafsir
Untuk mensosialisasikan karyanya
ini Syekh Nawawi sendiri masih sempat melakukan pengajaran langsung kepada
murid-muridnya tentang tafsir ini selama 10 tahun sejak cetakan pertama
diterbitkan sampai ia meninggal. Kemasyhuran kitab yang ditulis oleh ulama Jawi ini tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga
di Timur Tengah. Hal itu ditandai dengan penghargaan dari ulama Mesir dan
Makkah setelah dipublikasikan di dua negeri Islam tersebut. Di kalangan umat
Islam Nusantara Tafsir Marah Labid memiliki
arti penting tersendiri. Di beberapa lembaga pendidikan pesantren tafsir ini
dijadikan sebagai kitab pegangan dan pegangan pokok kurikulum setelah Tafsir Jalalain, yakni dianggap sebagai tafsir tingkat
lanjutan. Terlebih bagi kalangan pelajar yang banyak menggunakan karya-karyanya,
kitab tafsir ini sangat berarti karena dari segi isinya tafsir ini merupakan
standar dasar pemikiran Syekh Nawawi yang melandasi seluruh ide pemikirannya di
beberapa karyanya yang lain.[16]
Dalam tafsirnya dikatakan bahwa
sebenarnya sebelum menulis tafsir ini dia ragu melakukannya, ia berpikir lama
karena khawatir termasuk dalam kelompok orang yang sebagaimana dinyatakan oleh
Nabi Muhammad SAW. “Barang siapa berkata tentang
al-Qur’an dengan pikirannya walaupun benar tetap dinyatakan salah. Barang siapa
berkata tentang al-Qur’an dengan pikirannya, sama dengan mempersiapkan dirinya
untuk mendapatkan tempat di dalam Neraka.”[17]
Mempertimbangkan kekhawatiran
tersebut lalu Syekh Nawawi tidak berambisi menjadikan tafsir sebagai target
transmisi ilmu yang baru, tetapi dengan ketawaduannya ia hanya akan mengikuti
contoh para pendahulunya dalam menafsirkan al-Qur’an. Sejak awal di
pendahuluannya ia mengatakan bahwa dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dirujuk
beberapa kitab tafsir standar yang menurutnya otoritatif dan kompeten, di
antaranya adalah al-Futuhat al-Ilahiyah karya
Sulaiman al-Jamal (w.1790), Mafatih al-Ghaibkarya
Fakhr al-Din al-Razi (w.1209), Siraj al-Munir karya
al-Syarbini (w.1570) dan Irsyad al-‘Aql al-Salim karya
Ibnu Su’ud (w.1574), juga merujuk pada Tanwir al-Miqbas karya
al-Firuzzabadi (w.1415). kitab-kitab ini sebenarnya bisa dibilang jarang
beredar dan tidak mudah didapatkan, tetapi saat itu Syekh Nawawi memperoleh dan
menggunakannya sebagai refrensi.[18]
c. Corak Penafsiran
Adapun kecendrungan corak
penafsirannya Marah Labid termasuk
penganut Ahlussunnah wal Jama’ahdalam bidang Theologi dan
Syafi’iyah dalam bidang Fiqih. Dalam ilmu Kalam terlihat pandangannya
tentang Ru’yah, Arsy, Pelaku dosa besar, al-Jabr, al-Ikhtiyar dan
sebagainya yang cenderung kepada Asy’ariyah.
Selain juga dalam bidang ilmu
yang disebutkan di atas, Syekh Nawawi juga dalam tafsirnya menggunakan corak
penafsiran Isyari. Suatu teknik penafsiran
yang bisa dilakukan oleh ulama tasawuf falsafi. Di sana ketika beliau
menafsirkan الر ia mencoba
mengungkapkan rahasia di balik huruf yang berada di awal surat. Model
penafsiran ini dilakukan juga di tempat lain misalnya di ayat pertama surat
al-Syu’ara dia mengatakan:
“Tha Sin Mim…..Ahlu Isyarat mengatakan
ini adalah Isyarat bahwa Tha adalah Thuluhu Ta’ala (luasnya Allah ta’ala) dalam hal sempurna keagungannya, Sin adalah Salamatuhu ta’ala (bersihnya
Allah ta’ala) dari aib dan sifat kurang, artinya dengan
sendirinya Allah bersih dari semua itu, Mim adalah majduhu (tingginya Allah) dalam kemaha Muliaannya
dan mulia tanpa batas. Dan merupakan isyarat juga bahwa tha adalah (thaharah) bersihnya
hati Nabi Muhammad SAW. dari mengada-ngada, sin berarti sayyidatuna(kepemimpinan Nabi) atas para Nabi dan
Rasul, dan mim berarti musyahadatuhu (kesaksiannya Nabi) terhadap
keindahan Tuhan Semesta Alam.”[19]
Dalam menafsirkan huruf-huruf
terpisah di awal surat, Syekh Nawawi memiliki tiga sikap: pertama, ia akan mengatakan bahwa huruf-huruf
tersebut menunjukkan nama suatu surat, kedua, mencoba
menjelaskan rahasia di balik huruf-huruf tersebut yang terkadang merujuk kepada
Ahli Isyari, ketiga, seringkali ia tawaquf dan mengatakan bahwa Allahlah yang Maha Mengetahui
rahasianya. Di sana seringkali dia berspekulasi mencoba menjelaskan makna
rahasia tersebut.
Singkatnya Tafsir Marah Labid merupakan tafsir yang ringkas
penjelasannya dimana penulisnya menganggap penting untuk tidak keluar dari alur
kontek lafazh, menjelaskan makna dan tafsirnya, menyebutkan riwayat Qira’at,
keutamaan membacanya, menyebutkan riwayat-riwayat asal yang membantu pemahaman
makna serta menyebut Asbabun Nuzul.
3. PENUTUP
Tafsir Marah Labid adalah sebuah karya seorang putra
bangsa asal Banten yaitu Syekh Nawawi al-Banteni yang merupakan salah saltu
kitab tafsir yang dikaji bukan saja di dalam negeri tapi juga di luar negeri.
Hingga saat ini tafsir Marah Labid di
berbagai pesantren di Nusantara merupakan tafsir terpopuler setelah
tafsir Jalalain. Ini menunjukkan bahwa posisi tafsir ini
mendapat tempat yang istimewa dalam kajian ke-Islaman. Hal ini juga tidak lepas
dari ukurannya yang sederhana, penafsirannya yang singkat namun mencakup
seluruh bidang Ilmu Agama, serta susunan bahasanya yang mudah dimengerti. Wal hasil kitab tafsir Marah Labid adalah merupakan kontribusi yang
sangat berharga dalam Khazanah kajian tafsir Nusantara bahkan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi
al-Jawi (2006), Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid, Bairut:
Dar al-Fikr.
Samsul Munir Amin (2009), Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syekh Nawawi al-Banteni, Yogyakarta:
PT LKiS Printing Cemerlang.
Mamat S. Burhanuddin
(2009), Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren (Analisis Terhadap Tafsir
Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten), Yogyakarta: UII Pres.
Saiful Amin Ghofur (2008), Profil Para Mufassir al-Qur’an, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani.
Ahmad Barmawi (2006), 108 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta: Restu
Agung.
Salman Iskandar (2011), 55 Tokoh Muslim Indonesia Paling Berpengaruh, Solo:
Tinta Medina.
[1] Samsul Munir Amin (2009), Sayyid Ulama Hijaz; Biografi Syekh Nawawi Al-Banteni, Yogyakarta:
PT LKiS Printing Cemerlang. Hal. 9.
[4] Saiful Arif Ghofur (2008), Profil Para Mufassir Al-Qur’an, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, hal. 189
[5] Mamat S. Burhanuddin (2006), Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren (Analisis Terhadap Tafsir
Marah Labid Karya K.H. Nawawi Banten), Yogyakarta: UII Pres,
hal. 21.
[10] Salman Iskandar (2011), 55 Tokoh Muslim Indonesia paling Berpengaruh, Solo:
Tinta Medina, hal. 67.
[17] Muhammad Nawawi al-Bantani (2006), Marah Labid fi Kasyfi Ma’ani Qur’an Majid, Bairut:
Dar al-Fikr, jilid 1, hal. 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar